09 Februari 2015

Tentang Lima Cinta





Di Kamarku


Aku memeluknya setiap kali dia datang ke kamarku. Aku menikmati bersandar di punggungnya yang hangat dan aroma tubuhnya.
Dia selalu datang ke kamarku ini beberapa saat setiap harinya. Ketika malam hari saat dia baru tiba, entah dari mana. Dan di pagi hari, ketika dia selesai mandi, sebelum akhirnya pergi setelah terlihat rapi. Ketika itu, aku harus melepaskan pelukanku. Hal yang kubenci.
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika dia sedikit lebih muda dari hari ini. Aku menjadi saksi hampir seluruh hidupnya sejak itu.
Tawanya yang renyah, yang terkadang sampai membuatku ingin tahu apa yang dia tertawakan. Juga ketika dia menangis. Meskipun dia tidak mengatakan satu katapun dalam tangisnya, aku bisa mengerti apa yang dia rasakan. Ketika amarahnya sedang meledak. Aku ingat suatu saat, sebuah buku tebal melayang dan hampir menyentuh rambut panjangku. Dan aku menikmati ketika dia berada di kamar ini dengan penuh birahi. Ketika itu kami bercinta.
Aku cinta dia. Aku ingin memiliki dia.
Suatu hari dia memutuskan untuk pindah ke kamarku. Semua barang-barangnya kini memenuhi kamar ini yang sudah lama sekali hanya berisi lemari pakaiannya dan kursi tua kesayanganku, tempat aku selalu duduk. Tempat kami bercinta.
Mungkin dia tidak lagi merasa nyaman berada di kamarnya itu. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak pernah masuk ke kamarnya. Aku tidak bisa.
Aku bahagia bukan kepalang.
Kini dia ada di sini bukan hanya sebentar dan pergi lagi. Aku semakin mencintai dia. Aku sudah memiliki dia, meski dia tidak pernah melihatku.
Seperti kemarin, hari ini aku duduk di kursi tua kesayanganku sambil menyisir rambutku yang panjang ini, menantinya pulang dan memeluknya sepanjang malam.

 **




Dia dan Aku

Dia.
Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku. Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku… Dia sahabatku…
Aku.
Baiklah. Aku adalah sahabatnya.
Dia.
Aku tidak mengerti . Rasanya aneh sekali. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya.
Aku.
Mungkin benar seperti apa yang dia katakan, bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Tapi sahabat mana yang seperti dia? Persahabatan yang aneh.
Dia.
Aku tidak suka dia bersama siapapun! Dia harus selalu bersamaku!
Aku.
Sepertinya persahabatan jenis baru adalah yang dia tawarkan. Yaitu marah setiap aku pergi dengan orang lain.
Dia.
Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku. Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku…  Dia sahabatku…
Aku.
Aku tak mengerti cara dia menatapku, sentuhan tangannya, perhatiannya, dan amarahnya. Semua itu seolah mengatakan, aku bukan sahabat buatnya…
Dia.
Kenapa dia tidak mau mengerti? Kenapa dia kejam padaku?
Aku.
Aku sungguh tidak mengerti.
Dia.
Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku. Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku… Dia sahabatku…
Akupun tak mengerti…
Aku.
Aku ini siapamu? Kamu ini siapaku? Hentikan ini.
Dia.
Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku. Dia sahabatku. Dia bukan sahabatku… Dia sahabatku…
Bukan. Dia bukan sahabatku. Dia milikku.
Aku.
Aku pergi.
Dia.
Jangan pergi. Tolong jangan sekejam ini.
Kau adalah sahabatku, tapi… ah, aku tak tahu!!
Aku.
Aku pergi dari kekejamanmu. Kekejamanmu atas kebingunganmu sendiri. Kekejamanmu yang telah membuatku bingung. Kekejamanmu yang telah membuatku berharap.
Dia.  Aku.
Aku mencintainya.

**



Friday, 11.51 AM

> Ayo, Sayang. Ini sudah mau jam 12.
> Nanti kita ketinggalan.
Dia benar. Itu sebabnya aku tak segera membalas pesan-pesannya. Aku harus cepat.
Kukenakan sarungku, menggulungnya pada bagian di depan perutku dan merampas peci di atas meja yang segera kuletakkan di atas kepalaku.
Kucuri beberapa detik untuk memandang cermin dan tersenyum.
“Baiklah, aku sudah ganteng,” gumamku.
Suara pengkhotbah terdengar sayup-sayup. Baiklah, sepertinya kami tidak akan dapat tempat. Aku berlari.
Sesampaiku di ujung gang, kutemui dia memandangku disertai geleng-geleng kepala. Peci yang ia kenakan tampak membentuk rahangnya semakin tegas.

 **



Perempuan Mungil Itu dan Aku, Serta Dia

Seandainya.
Perempuan berperawakan mungil itu duduk diam di kursi panjang lobi kantor kami. Menanti entah siapa menjemputnya. Dan akupun duduk diam di kursi panjang di depannya. Kami tidak saling bicara.

Kenyataannya.
Mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih.

Seandainya.
Dia menyadari tatapan mataku ketika kami saling bicara, tanganku yang gemas merapikan kerah bajunya yang tak sengaja terlipat, caraku berkelakar yang hanya ingin agar dia tidak beranjak, belaian tanganku pada rambutnya dan semua sentuhanku yang kubuat seolah tak sengaja, mewakili bibirku mengatakannya.

Kenyataannya.
Di kursi panjang lobi kantor kami, ketika ia sedang menanti entah siapapun menjemputnya, aku berkelakar. Kepada perempuan mungil itu kukatakan, ada seseorang menanti seorang untuk jadi kekasihnya. Kubilang padanya, dia pantas untuknya. Ya, kami saling bicara.

Kenyataannya.
Perempuan itu jatuh cinta pada dia.

Kenyataannya.
Dia menerimanya. Dia merasa menemukan seseorang yang menyukainya, menerima apa adanya, dan akan menyayanginya. Dia menerima perempuan mungil itu.

Seandainya.
Aku tidak menangis malam ini. Aku tidak merasa hancur. Aku bahagia mereka akhirnya bersama.

Seandainya.
Aku bisa terus membebaskan tanganku yang gemas merapihkan kerah bajunya yang tak sengaja terlipat, caraku berkelakar yang hanya ingin agar dia tidak beranjak, belaian tanganku pada rambutnya dan semua sentuhanku yang seolah tidak kusengaja, menatapnya  dan dengan bebas bibirku mengatakan bahwa aku menyukainya, menerima apa adanya dia.

Seandainya.
Aku tidak pernah menyayangi dia.

Seandainya.
Perempuan berperawakan mungil itu duduk diam di kursi panjang lobi kantor kami, menanti seseorang yang ia cintai dan mencintainya, menjemputnya. Dan bicaraku, kelakarku tidak pernah ada.

 **



Tukang Ojek dan Seorang Perempuan

“Dasar perempuan murahan! Lo umpetin di mana suami gue!?”

“Suami siapa? Mana gue tau?!”
“Perempuan gila!”
“Lo yang gila!”
Hari ini pasti berat untuknya. Pertengkaran dengan seorang perempuan yang menurutnya telah mencuri suaminya dimulai ketika kami sudah menemukan alamat yang sudah beberapa jam kami cari-cari.
Usahaku melerai berhasil. Aku tarik ia jauh-jauh sebelum perempuan yang dituduhnya itu melayangkan tangannya.
Perjalanan mencari-cari alamat yang ia tuju bukan hal mudah. Kami hampir menghabiskan waktu empat jam, berkeliling mencari alamat yang ia tuju. Hujan deras dan banjir menggenang di mana-mana.
Tapi tidak juga menyurutkan semangatnya, amarahnya, untuk melabrak perempuan itu.
Ia memutuskan untuk berhenti sebentar dan berteduh di teras sebuah ruko kosong. Wajahnya tampak layu. Air mata di pipinya sudah mengering dan kini basah oleh air hujan. Dia tampak sangat kusut. Kami tampak sangat kusut.
“Abang udah berapa lama jadi tukang ojek, Bang?” akhirnya dia bicara.
“Oooh, udah setahun, Mba,” jawabku.
“Baru sekali ini ya, ada yang minta anterin ngelabrak orang?” katanya dengan sedikit tertawa.
“Hahaha… iya, Mba,” kujawab dengan tertawa kecil. Tertawa kecut.
“Susah, Bang, punya suami kaya suami saya. Saya cinta banget sama dia, tapi dia malah selingkuh. Menghilang. Saya tau dia pasti selingkuh!” matanya berkaca-kaca. Dan aku hanya tersenyum.
Ia memutuskan untuk pulang.
Ketika kami tiba, aku membiarkannya masuk ke rumah terlebih dahulu, lalu aku masuk setelah memarkir motorku.
Aku mandi, lalu mengganti pakaianku. Membuat teh hangat untukku dan untuknya, setelah itu
mengantarkannya ke kamar kami. Dia sudah selesai mandi duduk di atas tempat tidur kami.
“Mas, dingin banget ya di luar. Mas jangan pergi lagi ya. Aku takut kalo ga ada Mas,” katanya sambil memelukku.
“Iya, Mas ga akan ke mana-mana. Mas di sini terus kok. Deket kamu. Ini diminum tehnya,” dan diambilnya teh hangat itu.
Dia tertidur dipelukanku. Kukecup keningnya.
Hari ini ia minta diantar mencari alamat yang katanya adalah alamat perempuan yang merebut suaminya.
Dia pergi ke ujung gang dan mencari tukang ojek. Aku terpaksa harus pulang dari kantorku karena tukang ojek di ujung gang kami menelponku, lalu mengantarkannya ke tempat aku menunggu. Aku bilang aku yang akan meneruskan tugas tukang ojek yang mengantarnya tadi. Dan ini bukan pertama kalinya ia begini.
Kemarin ia menghilang, dan kami semua mencarinya. Aku menemukannya di sebuah teras ruko kosong sedang menangis. Ruko yang tadi kami singgah sebentar untuk berteduh. Dan ia tak langsung ingat aku siapa ketika kami tiba di rumah. Tak seperti hari ini.
Entahlah, besok kira-kira akan seperti apa jadinya. Entah sampai kapan ini harus terjadi. Ini salahku. Aku pernah meninggalkannya selama beberapa bulan karena tertarik dengan perempuan lain. Aku tidak pernah tahu akan jadi begini.
**
Illustration by TJ

Tidak ada komentar: